*Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh* Selamat Datang di Blog IRMAS Baiturrahim Tlutup *

Senin, 18 April 2011

Basis NU Tersusupi Teroris, Ada Apa?

Jakarta (gp-ansor online): Bom Cirebon menyisakan pertanyaan kritis terhadap organisasi keagamaan terbesar Nahdlatul Ulama (NU). Karena Cirebon merupakan basis kultural NU yang cukup kuat.
Organisasi ini dikenal sebagai kelompok Islam moderat. Tapi mengapa bisa disusupi teroris?

Bom Cirebon yang terjadi Jumat (15/4/2011) memang cukup mengejutkan. Pertama peritiwa terjadi di masjid di komplek Mapolres Cirebon. Kedua, bom terjadi di wilayah Cirebon.
“Yang agak unik, pilihan tempat di Cirebon. Padahal itu bukan daerah basis mereka, tetapi mereka melakukan bom syahid di daerah itu. Artinya ada kemungkinan rekrutmen baru. Daerah Cirebon, Indramayu, dan Brebes, bukanlah basis mereka,” ujar pengamat terorisme Al-Chaidar.
Daerah-daerah yang menjadi basis gerakan kelompok terorisme, menurut Al-Chaidar di antaranya Kuningan, Cilacap, Solo, Palembang, Lampung, Riau, dan Medan. “Di luar daerah itu bukan basis mereka,” tambahnya.
Apakah Cirebon menjadi basis baru kelompok teroris? Sulit membantah dugaan ini. Apalagi, pelaku bom bunuh diri atas nama Muhammad Syarif merupakan warga Gang Rara Kuning II RT 3 RW 6 nomor 55, Petratean, Kecamatan Pekalipan, Cirebon, Jawa Barat.
Sosok pelaku diduga warga asli Cirebon. Meski, Syarif disebutkan pernah nyantri di Solo. Tidak diketahui pondok pesantren mana Syarif mengaji ilmu agama itu. Humas Pondok Pesantren Ngruki, Surakarta Ade Hidayat membantah bila Muhammad Syarif yang diduga pelaku bom bunuh diri merupakan alumnus Pondok Pesantren Ngruki.
“Saya tidak pernah mengenal muka pelaku yang ada di media. Ada Muhammad Syarif tapi asli Solo, keturunan Arab,” ujarnya kepada INILAH.COM melalui saluran telepon di Surakarta, Minggu (16/4/2011).
Meski demikian, Ade berjanji akan mengecek di buku santri Ngruki terkait nama Muhammad Syarif yang diduga pelaku bom bunuh diri di Cirebon. “Nanti akan kami cek,” katanya.
Dihubungi terpisah, tokoh NU asli Cirebon KH Husein Muhammad mengakui bom Cirebon merupakan tamparan telak. “Peristiwa ini pukulan telak bagi NU dan kelompok moderat lainnya,” aku tokoh NU yang dikenal sebagai penggiat kesetaraan gender ini kepada INILAH.COM melalui saluran telepon di Cirebon, Sabtu (16/4/2011).
Meski demikian, Husein menyebutkan, secara teritorial wilayah Cirebon memang terjadi perbedaan antara Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. “Sejak reformasi 1998 silam, di Kota Cirebon muncul organisasi keagamaan baru seperti FUI, FPI dan lain-lain. Kalau di Kabupaten Cirebon masih kondusif, karena banyak pesantren berdiri,” paparnya.
Ketua Dewan Kebijakan Fahimna Institute Cirebon ini mengakui, memang terjadi pertarungan ideologi antara NU dan kelompok moderat lainnya dengan kelompok garis keras di Cirebon.
“Sampai hari ini, masih terjadi pertarungan ideologi. Tetapi mereka garang sekali dan sangat berani. Berkali-kali gereja diserbu, radio umat kristiani disetop, dan seterusnya,” papar alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), Jakarta ini.
Terkait peristiwa bom Cirebon, KH Husein Muhammad menyebutkan NU harus melakukan refleksi dan koreksi. Menurut Husein, di internal NU terjadi kelemahan organisatoris serta mandegnya kaderisasi. “Kita harus koreksi diri. Di NU khususnya di Cirebon perlu perbaikan manajemen internal ditambah mandegnya kaderisasi,” katanya.
Meski demikian, Husein menyebutkan bukan berarti langkah kekerasan yang diwujudkan dengan bom bunuh diri dibenarkan. Menurut dia, perbedaan ideologi dan pemahaman keagamaan tidak ada soal. “Namun jangan sampai melakukan kekerasan fisik,” cetusnya.
Peristiwa bom Cirebon ini harus dimaknai sebagai peringatan bagi kelompok Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Karena faktanya, serentatan bom yang terjadi di beberapa daerah sejatinya berada di basis kelompok Muhammadiyah dan yang terbaru NU.
Penguatan organisasi di akar rumput harus segera dilakukan. Karena bagaimanapun harus diakui, NU khususnya dan organisasi keagamaan pada umumnya lebih disibukkan dengan politik praktis ketimbang mengurus jamaahnya.
Jargon kembali ke khittah nyatanya hanya menjadi macan kertas saja. Faktanya pengurus organisasi keagamaan itu lebih sibuk dalam urusan ‘restu-merestui’ kandidat kepala daerah maupun partai politik. Sungguh ironi! [mdr]
Sumber: Inilah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar